Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah terkait dengan pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) sehingga dengan putusan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa UN yang selama ini dilakukan adalah cacat hukum, dan selanjutnya UN dilarang untuk diselenggarakan.
Dalam laman MA, di Jakarta, Rabu, disebutkan, pemohon dalam perkara tersebut yakni pihak negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Negara RI cq Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla --saat permohonan itu diajukan--, Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo --saat permohonan itu diajukan--.
Kemudian, Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).Dalam laman MA, di Jakarta, Rabu, disebutkan, pemohon dalam perkara tersebut yakni pihak negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Negara RI cq Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla --saat permohonan itu diajukan--, Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo --saat permohonan itu diajukan--.
Berita diatas adalah cuplikan berita yang dimuat oleh Antara News pada tanggal 26 November 2009 tentang penyelenggaraan Ujian Nasional. Putusan MA ini sebenarnya adalah putusan yang menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta Pusat pada 6 Desember 2007 lalu, dan putusan banding Pengadilan Tinggi DKI pada tahun 2008.
Bola Liar
Sejak digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 sebagai pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), Ujian Nasional (UN) yang pada awalnya disebut Ujian Akhir Nasional (UAN), telah menuai banyak kontroversi di dalam masyarakat. Banyak masyarakat menolak ujian nasional tersebut, termasuk mereka yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan seperti para guru. Penolakan terhadap Ujian Nasional bahkan disampaikan oleh DPR, melalui Komisi X yang mendesak pemerintah meniadakan Ujian nasional dan mengembalikannya kepada Ujian Akhir Sekolah Berstandard Nasional, yaitu ujian dari masing-masing sekolah dengan penyesuaian soal dari pusat (dalam Harian Kompas, 30 April 2009). Namun banyak pula yang mendukungnya, terutama para pejabat pemerintah yang memang mengusulkan program tersebut.
Atas tuntutan masyarakat, kasus ini akhirnya dibawa ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tahun 2007 dan dimenangkan oleh kelompok masyarakat yang tidak menginginkan Ujian Nasional. Meskipun hasil keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan jelas menyatakan bahwa Ujian Nasional harus dihentikan, tetapi pemerintah tetap saja menyelenggarakan Ujian Nasional tersebut sambil mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Akhirnya lahirlah keputusan MA yang menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah terkait pelaksanaan Ujian Nasional. Namun lagi-lagi keputusan ini nampaknya tidak membuat pemerintah bergeming. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah mengambil keputusan tegas untuk tetap melaksanakan UN tahun 2010 sesuai dengan agenda yang telah dijadwalkan pihaknya (Harian Kompas, 11 Desember 2009).
Kondisi ini tentu saja menimbulkan kebingungan di dalam masyarakat. Akibatnya Ujian Nasional menjadi bahan perdebatan dimana-mana, mulai dari tingkat orangtua murid, guru, pejabat Depdiknas, DPR bahkan mantan Wapres RI pun pernah ikut bicara. Isu ini ibarat bola liar yang belum dapat dihentikan atau pun ditentukan kemana arah bola ini akan menuju selanjutnya. Lalu apa kebijakan selanjutnya seandainya bola liar ini sudah dapat “ditaklukkan”.
Mengapa Menolak
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab sebenarnya adalah mengapa masyarakat menolak adanya Ujian Nasional? Bukankah kebijakaan ini sebenarnya memiliki tujuan mulia untuk menentukan tolak ukur standard pendidikan yang berlaku secara nasional? Dimana permasalahannya?
Jika merujuk pada hasil kajian Koalisi Pendidikan yang dimuat dalam Koran Tempo, 4 Februari 2005, paling sedikit ada 4 (empat) aspek yang dinilai menyimpang. Keempat aspek tersebut adalah:
1. Pedagogis. Di dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik diukur dalam 3 (tiga) aspek, yakni pengetahuan (kognitif), ketrampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif). Di dalam Ujian Nasional aspek yang dinilai ternyata hanya satu yaitu kognitif, sementara dua aspek yang lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
2. Yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar. Misalnya:
a. Pasal 35 ayat 1 menyatakan bahwa standard nasional pendidikan terdiri dari standard isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga pendidikan, sarana, dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berkala. Dalam prakteknya, Ujian Nasional hanya mengukur kemampuan pengetahuan.
b. Pasal 58 ayat 1 menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, Ujian Nasional juga mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses.
c. Pasal 59 ayat 1 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelolaan, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Dalam Ujian Nasional pemerintah malahan melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas para pendidik.
3. Sosial & Psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakan, Pemerintah telah mematok standard nilai kelulusan 3,01 pada tahun 200/2003, menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Standard nilai kelulusan ini akan terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Hal inilah yang menimbulkan kecemasan bagi para peserta didik dan orangtua. Apalagi jika ternyata sarana dan prasarana yang ada di sekolah tidak mengalami perubahan yang signifikan. Siswa yang akan menghadapi UN akhirnya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menghafal atau mempelajari pelajaran-pelajaran yang akan diujikan, baik ketika mereka berada di rumah maupun di sekolah.
4. Ekonomis. Pelaksanaan Ujian Nasional membutuhkan dana yang tidak kecil. Pada tahun 2005, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 Miliar, belum termasuk dana dari APBD dan masyarakat. Sebagai informasi tambahan, dana UN dari APBN untuk tahun 2009 mencapai Rp 438 Miliar, bahkan tahun 2008 mencapai Rp 572,9 miliar. Dana tersebut belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua siswa untuk memberikan pelajaran tambahan bagi anak-anak mereka.
Hal-hal lain yang menjadi dasar mengapa Ujian Nasional banyak mendapatkan penolakan adalah:
* Pemerataan Sarana dan Prasarana Pendidikan. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah-sekolah di Indonesia tidak merata. Kualitas dan kuantitas para pendidik pun masih sangat beragam. Di daerah-daerah terpencil kondisi sekolah masih sangat memprihatinkan dengan ciri-ciri: gedung sekolah seringkali tidak layak pakai, buku-buku pelajaran sangat sedikit, peralatan laboratorium seringkali tidak tersedia, perpustakaan sekolah tidak ada, dan bahkan guru-guru pun bergantung pada guru honorer yang seringkali memiliki kualitas seadanya. Dengan kondisi seperti ini maka ketika kelulusan hanya diukur dengan nilai Ujian Nasional yang standardnya disamakan dengan sekolah-sekolah modern dengan fasilitas lengkap dan guru-guru berkualitas, maka anak-anak dari sekolah “tertinggal” tentu saja sulit untuk bersaing. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika masih banyak sekolah-sekolah yang semua muridnya tidak lulus UN. Tetapi apakah dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa murid-murid tersebut lebih bodoh? Bagaimana jika mereka diberikan fasilitas yang sama?
* Pelaksanaan Ujian Nasional. Sejak awal pelaksanaannya Ujian Nasional sudah menimbulkan berbagai masalah di dalam pelaksanaannya. Beberapa contoh pelanggaran yang ditemukan pada saat pelaksanaan Ujian Nasional, misalnya: terjadi kebocoran soal ujian, guru bidang studi yang sedang diujikan berada di ruang ujian, ditemukan “joki” di ruang ujian, masih adanya siswa yang membawa telepon genggam ke ruang ujian dan ternyata telepon tersebut digunakan untuk menanyakan jawaban kepada gurunya. Dan masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaam Ujian Nasional. Semakin tinggi standard kelulusan dalam Ujian Nasional semakin banyak bentuk bentuk pelanggaran yang bisa ditemui.
* Bersaing tidak sehat. Ujian Nasional bagi sebagian sekolah merupakan suatu momok yang sangat menakutkan, tidak hanya bagi para siswa, tetapi juga bagi para pendidik dan orangtua siswa. Bagi para guru, jika anak didik mereka banyak yang tidak lulus maka sekolah tersebut akan menanggung malu dan para pendidik pun akan mendapat tuntutan dari para orangtua. Oleh karena itu, para guru berjuang mati-matian untuk meluluskan anak didiknya supaya dinilai sebagai sekolah yang bermutu. Sayangnya tidak semua sekolah atau guru melakukan hal tersebut dengan cara yang baik. Masih banyak dijumpai bagaimana para guru tersebut sibuk mencari “soal bocoran” yang dapat diberikan kepada anak didik mereka. Selain itu mereka juga tidak mengindahkan larangan dari para pengawas ujian untuk tidak berada di dalam ruangan ujian ketika mata pelajaran yang dia ajarkan sedang diujikan kepada siswa. Di sisi lain, orangtua siswa pun melakukan berbagai cara, mulai dari mencari dan membeli soal bocoran yang harganya mencapai jutaan rupiah sampai dengan menyewa “joki”. Tidak heran jika selama masa mendekati Ujian Nasional kita mendengar ada guru atau orangtua murid yang tertipu jutaan rupiah karena membeli “soal bocoran”. Singkat kata para guru, mulai dari kepala sekolah sampai guru bidang studi dan orangtua cenderung mau melakukan berbagai cara asalkan anak didik mereka lulus ujian.
* Adu Gengsi. Ketika Ujian Nasional dijadikan tolak ukur kelulusan siswa di seluruh tanah air. Maka setiap penguasa daerah (Kepala Daerah, Dinas Pendidikan, sampai ke kepala sekolah) mengerahkan segenap upaya untuk memastikan bahwa siswa-siswa yang berada di daerah mereka dapat lulus sebanyak mungkin. Bagi mereka Ujian Nasional adalah arena untuk mengadu gengsi daerah. Artinya: daerah yang paling banyak siswanya dinyatakan lulus maka daerah itulah yang mutu pendidikannya paling baik. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena mereka menjadi lupa bahwa proses pendidikan tidak bisa hanya diukur dengan Ujian Nasional, apalagi jika yang dinilai hanyalah satu aspek saja (baca: kognitif). Selain itu, kesalahan fatal yang sering terjadi adalah para penguasa tersebut hanya berfokus pada cara-cara meluluskan siswa menjelang saat ujian berlangsung dan kemudian “redup” ketika masa ujian selesai. Jadi bersifat sangat pragmatis dan sesaat. Amat sangat jarang (mungkin belum ada) daerah yang memfokuskan diri untuk mengadakan program-program baru yang mungkin berupa perubahan sistem pendidikan di daerah, perubahan kurikulum yang sesuai dengan daerahnya, atau pun perbaikan sarana dan prasarana pendidikan di daerah.
Apa Sebaiknya yang dilakukan?
Menurut hemat saya ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan sehubungan dengan Ujian Nasional, diantaranya:
1. Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada sehubungan dengan Ujian Nasional, satu hal yang perlu dicatat dan dihargai adalah bahwa Ujian Nasional sebenarnya merupakan sarana yang sangat tepat untuk melakukan pemetaan atas kondisi pendidikan di Indonesia. Tetapi bukan sebagai alat untuk menentukan kelulusan. Dengan adanya Ujian Nasional, kita semua dapat melihat kesenjangan yang terjadi antara sekolah-sekolah di kota-kota besar dengan sekolah-sekolah di daerah pinggiran atau terpencil. Kesenjangan inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dengan cara memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, termasuk pemberdayaan para tenaga pendidik. Dengan demikian diharapkan dapat terjadi pemerataan pendidikan nasional.
2. Jika memang Ujian Nasional tetap ingin diberlakukan maka standard kelulusan siswa bukan ditentukan oleh pemerintah. Akan sangat baik jika hak untuk menentukan kelulusan siswa dikembalikan kepada para pendidik (baca: guru) seperti yang diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Aspek yang dijadikan standard kelulusan pun tidak hanya semata-mata dari aspek kognitif, tetapi harus mengikutsertakan aspek psikomotor dan afektif.
3. Untuk mencegah agar jangan sampai masalah seperti Ujian Nasional ini terulang di kemudian hari maka akan sangat baik jika pemerintah pusat dan daerah mereview dan menyusun kembali kurikulum pendidikan agar dapat menjawab tantangan- tantangan yang ada di wilayahnya masing-masing. Artinya: kurikulum pendidikan di susun berdasarkan potensi daerah dan sumber daya yang ada di daerah masing-masing. Dengan demikian para lulusan tidak lagi bingung mengaplikasikan ilmunya karena apa yang diterima di sekolah sesuai dengan apa yang ia alami di lingkungan sekitarnya. Dengan cara ini maka angka pengangguran pun akan dapat dikurangi dan daerah pasti akan berkembang. Selain, hal ini sejalan dengan tujuan otonomi daerah, dengan sistem seperti ini maka Ujian Nasional sama sekali tidak diperlukan lagi sebab daerah sudah mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan potensi dan sumber daya yang mereka miliki. Kalaupun Ujian Nasional dilaksanakan maka itu hanya sebagai bahan perbandingan dengan daerah lainnya.
Semoga berguna.
Silahkan berkomentar kalau ada yang berkomentar !!!